Kamis, 24 Maret 2011

Mabok Sirih


Makan sirih merupakan kebiasaan sebagian besar orang Bangladesh.  Tidak terbatas pada yang berusia tua saja, sebagaimana kebiasaan orang Indonesia. Yang muda-muda pun banyak yang menyirih. Saya pernah tertawa karena lucu melihat cowok muda tampan dengan penampilan macho, begitu tertawa giginya berwarna merah, karena sering makan sirih.
Di warung-warung kecil di Bangladesh yang bertebaran di mana-mana, sirih bisa ditemukan dengan gampang, sebagaimana kita bisa dengan mudah membeli rokok kalau di Indonesia. Satu racikan sirih komplit dijual seharga tiga taka, lebih kurang setara empat ratus rupiah uang kita. Bahannya, satu lembar daun sirih tua, potongan biji pinang, gambir, beberapa macam tembakau dan kapur sirih. Kecuali tembakau, bahan- bahan lain merupakan racikan dasar. Sedangkan tembakau bisa kita pilih mana yang kita suka karena ada beberapa jenis.
Orang Bangladesh yang satu jamaah dengan saya waktu taskil ke Manigong, makan sirih nyaris tiap jam. Namanya Abdussamad. Dia pensiunan guru yang sebelum kenal usaha dakwah senang main teater dan pernah menyutradarai beberapa pertunjukan. Pria 61 tahun ini mengatakan, kalau ada yang melarang dia makan sirih saat sedang khuruj, dia akan memilih tidak khuruj.
Saya beberapa kali ikut makan sirih, namun karena tidak memakai kulit pinang seperti kalau kebiasaan orang kampong saya, maka tidak ada yang nyangkut. Begitu dikunyah, menjadi cair dan begitu diludahkan, maka habislah. Di kampung saya, campurannya memang bukan biji pinang, tapi kulit pinang yang masih muda, jadi serat kulit pinang bisa dikunyah-kunyah. Tapi saya heran, kok Abdussamad Bhai bisa mengunyah sirih dalam waktu yang lama. Saya pikir, mungkin tembakaunya yang menjadi serat. Saya sendiri memang tidak memakai tembakau.
Waktu istima Tonggi, saya main ke pasar menemani Rohimin teman dari Palembang yang berjumpa di area istima. Setelah membeli beberapa oleh-oleh, saya mentraktir dia minum cai atau teh susu dan roti. Di warung cai tersebut mereka juga menjual sirih. Tiba-tiba saya pingin makan sirih. Kayaknya asik juga bergaya seperti orang Bangladesh, keliling-keliling sambil mengunyah sirih.
Setelag mengambil daun sirih dan cumpurannya berupa gambir, potongan biji pinang, penjual sirih menunjuk sebuah kaleng bergambang foto pria berkumis tebal, dan bertanya apakah saya akan memakai campuran tersebut. Saya cium aromanya yang agak aneh.
“Tabacco?” kata saya dalam bahasa inggris. Namun dia mengatakan tidak.
Saya pernah dikasih sirih yang sudah diracik, yang aromanya wangi di mulut. Namun saya tidak tau persis apa campurannya. Saya tidak merokok, jadi jelas saya juga tidak mau mengunyah tembakau. Tapi katanya itu bukan tembakau. Juga kaleng-kaleng lain yang saya tunjuk, si penjual menggeleng ketika saya tanyakan apakah itu tembakau.
Akhirnya saya bilang, kasih semua, komplit. Nggak apa-apakan? Bukan tembakau juga kok.
Namun baru mengunyak setengah menit, kepala saya menjadi puyeng. Waktu itu Bangladesh musim dingin, namun kepala dan badan saya berkeringat.
Melihat saya oleng, seseorang memberi saya kursi, dan saya duduk. Uhhh lumayan membantu.
Sebentar saja saya sudah jadi tontonan. Saya meludahkan semua sirih yang saya makan, namun rasa puyengnya malah tambah jadi dan perut menjadi mual dan seperti mau muntah. Saya minum sebotol air mineral, lalu memuntahkan. Adalah setengah jam saya duduk dalam keadaan teller. Saya coba berdiri, bumi serasa oleng.
Akhirnya dengan tertatih-tatih saya kembali ke tenda, dan tertidur tiga jam dengan nyenyak. Begitu bangun rasa pusing dan mualnya masih terasa, bahkan sampai sekarang, kalau ingat kejadian itu, badan jadi terasa lemas.
Saya curiga, jangan-jangan sirihnya dicampur ganja kering. Namun orang Bangladesh yang berdekatan tidur dengan saya, seorang Profesor yang mengajar di Universitas Islam antara Bangsa di Malayasia mengatakan itu bukan ganja, tapi tembakau yang difermentasi. Bagi yang pertama kali memakannya memang berefek mual dan pusing.
Teman saya dari Palembang mengatakan temannya pingsan habis makan sirih dengan campuran campuran seperti yang saya makan.
“Tadinya saya mau bilang. Tapi saya pikir Pak Haji sudah biasa,” katanya.
&*(^%!$#@(#)*!*!*&%#$*@!

Tapi pikir-pikir, lumayan juga, paling tidak pernah juga merasakan mabuk sirih. Apalagi kalo itu benar-benar ganja, bisa nyoba tanpa takut dosa. Lha, kan saya nggak tauuuuuuu!***